Minggu, 8 Juni 2008 | 07:34 WIB
Berkunjung ke warung kopi Apek di Jalan Hindu Nomor 37, Medan, kita akan mendapat bukti bahwa Kota Medan adalah kota tua yang hidup karena dukungan etnis yang beraneka ragam.
Di warung itu etnis China, Jawa, Tamil, Nias, Mandailing, Toba, Karo, Simalungun, hingga Melayu dengan latar belakang agama beraneka ragam hidup rukun, duduk bersama, dan bercanda gembira.
Sebelum tengah hari adalah waktu pas untuk singgah sarapan atau makan siang. Setelah waktu itu, menu makanan biasanya tidak lengkap lagi meskipun warung baru tutup sekitar pukul 14.00.
Sebenarnya nama warung itu Warung Kopi Mieng Hao. Letaknya di kawasan bangunan tua Belanda di daerah Kesawan, tepatnya di pojok Jalan Hindu dan Jalan Perdana. Warung dibuka pertama kali sekitar tahun 1922 saat kawasan Kesawan masih dipenuhi kantor perkebunan Sumatera Timur.
Pemiliknya, Thaia Tjo Lie (86), lebih dikenal dengan sebutan Apek. Kalau tidak kecapaian, pria berusia lanjut itu sering tampak berada di belakang meja menyiapkan minuman untuk pelanggan. Yang selalu ada di warung adalah istrinya, Lee King Lien (84), dan anak perempuan mereka.
Kopi yang dihidangkan Apek adalah kopi hitam. Orang sering menyebutnya kopi O. Artinya kopi pahit tanpa gula. Ia merahasiakan resepnya. Tetapi, Apek mengatakan kopi sumatera yang paling enak baginya adalah dari Sidikalang dan Lintong Hasundutan. ”Asal rasanya terus terjaga, pelanggan tidak akan pergi,” kata Apek.
Masih asli
Gula dan susu cair dihidangkan terpisah dari kopi. Cangkir penghidang kopi terlihat sangat tua. Mungkin sama tua dengan tempat gula, susu, dan meja bulat yang beberapa di antaranya masih asli dengan alas marmer serta kursi kayu. Bangunan dua lantai sekitar 5 meter x 6 meter yang digunakan untuk warung (lantai dua jadi rumah tinggal) juga asli, belum direnovasi.
Kondisi dalam warung sederhana. Mebel ditata seadanya. Di salah satu sudut warung ada tempat pemujaan berikut makanan persembahan. Warung kopi itu dibuka orangtua Apek, Thia A Kee dan Khi Lang Kiao, imigran asal Hongkong. Sayangnya Apek sudah tidak bisa lagi runut bercerita.
Karena warung sudah tua, tamu yang pernah singgah macam-macam. Warung ini pun menjadi saksi perjalanan sejarah Indonesia. Puluhan tahun lalu, pegawai dan direktur perusahaan perkebunan seperti London Sumatra Company, Harrison Crossfield, atau NV Borzoi suka singgah di warung itu.
Saat pendudukan Belanda, tentara Belanda singgah. Saat tentara Jepang datang, mereka juga singgah. Saat perang kemerdekaan, Jamin Ginting, si pahlawan nasional yang namanya diabadikan jadi nama jalan di Kota Medan, juga mampir di warung Apek.
Tak ada menu yang disodorkan kepada tamu. Sepertinya semua orang sudah tahu apa yang disediakan Apek. Untuk minuman, selain kopi, ada juga teh tong, sebutan untuk teh tanpa gula bagi orang Medan. Ada juga es teh.
Apek juga menyediakan sarapan roti tawar bakar dengan selai sarikaya. Pelanggan juga bisa minta telur rebus. Siapa pun yang masuk ke warung juga boleh pesan makanan ke pedagang di sekeliling warung kopi Apek yang memang berhadapan dengan pasar pagi.
Keberagaman budaya
Warung ini menjadi bukti Kota Medan terbentuk dari komunitas berbagai kebudayaan yang membaur menjadi satu. Pelayan warung, misalnya, perempuan keturunan Batak, Clara br Pasaribu (21), dan satunya gadis keturunan Nias, Ester Gahö.
Di dalam warung ada dua pedagang lain, yaitu M Arumugam (55) yang disebut Pak Ane, pria keturunan India Tamil. Dia sudah berjualan makanan khas India seperti roti cane dan martabak mesir selama 33 tahun di warung Apek. Di gerobak Pak Ane tertulis ”Nasi Briani, hari Jumat”. Ia memang khusus menjual nasi briani khas India pada hari Jumat.
Satu lagi adalah Riandi (50), pria keturunan Jawa kelahiran Sumatera yang dipanggil Omo atau Somo. Dia memarkir gerobaknya di sudut lain warung, meracik soto daging sapi dan ayam sejak tahun 1974. Bau sotonya tak kalah harum dengan bau kopi Apek. Ia merupakan generasi kedua yang berjualan di warung Apek, menggantikan ayahnya, Napon (82), yang hingga kini masih hidup.
Di luar warung, ada Arifin (50) yang menjual nasi lemak. Ada pula Koh Hasan (55) yang berjualan cakwe dan kwetiau persis di kanan pintu masuk warung Apek.
Semua makanan dijual antara Rp 2.000 hingga Rp 20.000 per porsi. Soto misalnya, Rp 12.000 per porsi. Sedangkan kopi tanpa gula, tetapi dengan susu Rp 8.000 per cangkir. ”Ada juga yang minta cokelat panas, ada yang harganya Rp 20.000 per gelas,” kata salah satu anak Apek.
Pengunjung warung pun macam-macam. Dari politikus, anggota Dewan, kepala dinas, konsul Amerika Serikat di Medan, seniman, wartawan, usahawan, hingga orang kebanyakan. ”Saya berlangganan selama 20 tahun. Asal lapar saya singgah ke sini,” tutur Gunawan Chandra (71), warga Medan.
Warung buka hari Senin hingga Jumat pukul 06.00-14.00, sedangkan hari Sabtu pukul 06.00-13.30. Pada hari Minggu, warung buka pukul 06.00-11.30. Jadi, sekali duduk, segala menu bisa dipesan.
Sumber: Kompas.com
Suka dengan artikel ini? [Bagikan artikel ini ke teman2-mu di FACEBOOK. Klik disini]