Minggu, 15 Juni 2008 | 08:14 WIB
Butet Kartaredjasa
Jika Anda penggemar sate kambing, marilah bersekutu dengan panji baru: Front Pemangsa Sate. Dan segeralah ”rame-rame” menyerbu Pasar Jejeran, Wonokromo, Pleret, Jalan Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Di situ Anda akan menemui aliansi kelezatan dan gurihnya bakaran daging wedhus gembel alias domba gimbal yang cuma berbumbu garam—populer dengan sebutan sate klathak. Jadi, meskipun pakai label ”front”, ini tak ada urusan dengan kekerasan. Paling banter cuma berurusan dengan remasan. ”Biar empuk setelah dipotong-potong, dagingnya lalu saya remas-remas pakai tangan biar garamnya merata. Setelah itu baru ditusuki pakai ini,” tutur Kang Bari yang bernama lengkap Sobari, 31 tahun, sambil menunjuk bekas jeruji sepeda yang biasanya ditusuki enam atau tujuh keratan daging.
Ada yang bilang, kelezatannya tak kalah dengan lamb chop olahan hotel bintang lima yang pakai daging domba impor. Atau dalam istilah Ayu Utami, sastrawan kondang yang saban ke Yogya tak pernah absen menyantap sate klathak, ”Rasanya lumer di mulut. Segalanya tepat dan sempurna. Dagingnya segar, bumbunya minimal, panasnya baru dari api, dan kedainya tanpa kosmetik. Unik dan uuuenak banget.”
Berbeda dengan sate pada umumnya, sate klathak memang sangat minimalis. Jika umumnya sajian sate kambing dilengkapi bumbu kacang atau kecap, irisan tomat, rajangan brambang, cabai, dan kubis, sate klathak tampil lugu. Sepertinya, sudah sangat yakin akan kelezatannya. Seporsi cuma berisi dua tusuk. Disajikan begitu saja, masih lengkap dengan tusukan jeruji sepanjang 30 cm. Tanpa hiasan, tanpa manipulasi. Bisa disantap sebagai nyamikan melengkapi wedang teh nasgithel (panas, legi, kental). Atau sebagai makanan utama yang biasanya dengan nasi yang disiram kuah gulai.
Selain penulis Ayu Utami dan Danarto, banyak pesohor lain yang mendoyani sate Kang Bari. Dia menyebut beberapa nama: Didi Petet, Dedy Mizwar, Wulan Guritno, Mira Lesmana, Riri Riza, Tora Sudiro, Komeng, Trie Utami, Rieke Dyah Pitaloka, Nano, dan Ratna Riantiarno.
Populernya sate klathak, seperti jamaknya terjadi di negeri ini, selalu melahirkan epigon-epigon yang menguntit sebuah kreasi. Kebanyakan penjual sate kambing (juga tongseng dan gulai) di sepanjang Jalan Imogiri Timur yang jumlahnya hampir seratus warung selalu menyediakan menu ini. Ada yang menyerupai olahan Kang Bari, tetapi tidak sedikit yang sudah dikembangkan, misalnya ditambah merica sehingga jadi rada pedas seperti yang dilakukan Pak Untung, pemilik kedai di daerah utara pasar.
”Di sini pun, kalau ada yang minta pedas, ya saya tambahi merica. Kalau mau manis, pas meremas dagingnya saya tambahi kecap,” ujar bapak satu anak ini seraya menerangkan, gagasan membuat sate klathak diinspirasi masa kecilnya yang doyan makan emprit bakar.
Dia berkisah, dulu sering berburu burung emprit. Jika buruan didapat, biasanya sang emprit dikuliti, dibuang jeroannya, lalu hanya ditaburi garam, langsung dibakar. ”Biasanya emprit ditusuk pakai jeruji payung. Cuma dibakar begitu saja, kok rasanya enak,” kenangnya. Rasanya gurih banget. Selain itu, orang di desanya juga punya kegemaran makan klathak-melinjo, yaitu buah melinjo yang dibakar. Rasanya juga gurih. Dari yang serba gurih lantaran proses pembakaran dengan logam itulah, Kang Bari menamai kreasinya dengan nama camilan yang sudah beken sebelumnya: Klathak!
Kambing gemuk
Saban hari setidaknya Kang Bari menghabiskan 20 kilogram daging kambing. Itu didapatnya dari dua wedhus gembel yang disembelihnya sendiri. ”Kalau bukan jenis gembel, baunya prengus,” terang Kang Bari yang sekali belanja langsung beli 10 ekor di Desa Banyakan, Sitimulyo, Piyungan, Bantul.
Jadi, bisalah dibayangkan, sudah berapa ribu kambing yang disembelihnya jika Kang Bari memulai bikin sate klathak sejak 1995. Apalagi jika dihitung sejak zaman leluhurnya. Kang Bari adalah generasi ketiga.
”Dulu, sebelum tahun 1945, kakek saya, Mbah Ambyah, juga jualan di sekitar pasar sini. Di bawah pohon waru, hanya dengan satu meja dan dua lincak. Yang dijual tongseng singkong dan tongseng tahu. Daging kambingnya cuma sedikit. He-he-he.., waktu itu kan tidak semua orang bisa makan daging,” kenang anak keempat dari sepuluh bersaudara ini sambil meneruskan, ”Lalu dilanjutkan ayah saya dan saya membantu bikin minuman.”
Begitulah, setelah Pak Wakidi, ayahnya, lengser keprabon, warisan takhta sate-tongseng gantian diduduki Kang Bari, sementara Jono, 27 tahun, adiknya yang nomor enam, jadi pembuat minuman. ”Sekarang Jono buka warung sendiri. Juga jualan sate klathak dengan resep yang sama. Tempatnya di sana tuh,” ujar Kang Bari sambil menunjuk sisi selatan pasar.
”Getih kami ini kan getih sate,” ujarnya bercanda. Maksudnya, dari puluhan penjual sate-tongseng di kawasan Pasar Jejeran umumnya masih punya hubungan famili dengan dirinya. Dia menyebut sejumlah nama yang berprofesi serupa dirinya: Pak Lik Yabini, Ibu Choiriyah, Pak Pong, Bu Jazim, Pak Lik Sijam, Kang Keru, Kang Salam, dan Kang Ci’un.
Yang pantas dibanggakan, meski medan bisnisnya sama, mereka tetap rukun sentosa. Persaingan tidak menyebabkan lahirnya intrik dan saling menjatuhkan. Apalagi memuntahkan kekerasan.
Karena itu, jika FPS, Front Pemangsa Sate (Klathak), ingin meningkatkan kadar kolesterol dan menyempurnakan kecerdasan lidahnya, jangan gentar menyerbu front sate-tongseng di kawasan Pasar Jejeran. Inilah penyerbuan yang dibenarkan. Karena setiap serbuan pasti akan disambut kelezatan kuliner kelas kampung, dan itu berarti rezeki bagi mereka yang menggantungkan hidup pada sate klathak.
Selamat menyerbu! Ini front memang berbeda.***
Butet Kartaredjasa, Aktor dan Pemangsa Makanan Enak
Sumber: Kompas.com
Suka dengan artikel ini? [Bagikan artikel ini ke teman2-mu di FACEBOOK. Klik disini]