Sabtu, 14 Juni 2008 | 08:26 WIB
Curug Cigamea dan Pengalaman Melayang di Atas Jurang
Menginap di Gunung Bunder tidak lengkap rasanya jika tidak mengunjungi salah satu wana wisata di Kawasan GSE. Sebenarnya saya ingin sekali bertandang ke Kawah Ratu. Tapi, waktu tidak memungkinkan. Untuk sampai ke sana kita harus melintasi traking sejauh 14 kilometer. Wah, bisa makan waktu seharian. Tempat terdekat dari penginapan kami adalah Curug Cigamea. Air terjun ini berada persis di bawah tebing penginapan kami. Salah satu curug dari dua curug di Cigamea berasal dari mata air yang ada di areal penginapan ini. Namun, tentu saja tidak mungkin kami turun ke sana melalui tebing yang curam. Selain berbahaya, juga ilegal, karena memasuki kawasan wisata ini setiap pengunjung dipungut bayaran.
Dari “jalur yang benar” Curug Cigamea hanya sekitar 2 kilometer jauhnya dari Michael Resorts. Tidak sampai 10 menit bus rombongan kami memasuki lapangan parkir yang ditumbuhi rumput. Ah, sayang sekali, lapangan ini begitu kotor. Sampah-sampah plastik berserakan di mana-mana.
“Setiap malam minggu tempat ini ramai sekali. Banyak anak muda datang ramai-ramai naik motor,” terang Daniel seolah mejelaskan kenapa sampah-sampah ini ada di sini.
Setiap pengunjung dipungut tiket masuk sebesar Rp 3.500. Dari gerbang masuk Cigamea, kita bisa melihat di kejauhan sebuah tebing berwarna kecoklatan, sangat mencolok di antara rerimbunan pohon sekelilingnya yang berwarna hijau. Di tengah tebing coklat itu nampak segaris warna putih. Itulah Curug Cigamea.
Dari pintu masuk air terjun rasanya berada di kejauhan. Kami menyusuri jalan setapak dari paving block yang berundak turun ke bawah. Jalan setapak ini bervariasi antara undakan tajam dan datar. Waduh, saya membayangkan beratnya perjalanan pulang mendaki nanti. Menyusuri undakan di taman Michael Resorts saja napas saya tersengal-sengal.
“Ayo semangat, nggak jauh kok. Cuma 350 meter. Jalan santai paling cuma 15 menit,” teriak Daniel menyemangati kami.
Di kiri kanan jalan sejumlah warung dari bambu berjajar tidak beraturan. Sebagian besar tutup, karena kami datang tidak persis di waktu akhir pekan. Warung-warung yang menjual makanan kecil dan minuman ringan ini umumnya hanya buka di akhir pekan ketika pengunjung sedang ramai-ramainya. Di bangku warung-warung yang tutup itu kami menjumpai beberapa pasang muda-mudi asyik bercengkrama. Begitu pula di tengah jalan kami juga berpapasan dengan sejumlah pasangan yang jalan bergandengan tangan. Aha, ada romantisme di tempat sepi ini.
“Stop. Ada yang mau memotong jalan nggak? Kita bisa meluncur ke bawah dari sini,” tiba-tiba Daniel berteriak menghentikan rombongan. Perjalanan baru saja beberapa puluh meter.
Daniel berhenti di sisi kanan jalan, di bawah gubuk kayu. Di sisi gubuk kayu itu, pada sebuah pohon, tampak sebuah kawat baja terentang melintasi jurang di sisi kiri jalan setapak. Fying fox. Kawat baja itu terentang setinggi sekitar 50 meter di atas jurang dengan panjang sekitar 150 meter.
Mengetahui adanya jalur yang menantang, sejumlah rekan berebutan untuk mencobanya. Wah, rugi nih kalau tidak ikutan terbang di atas jurang, pikir saya. Jadilah kami antre satu-satu untuk melayang di atas kawat baja itu. Fasilitas flying fox baru hadir satu bulan ini di jalur menuju Curug Cigamea. Jika ingin mencoba, Rp 20 ribu ongkosnya per orang.
Sebelum meluncur, kami mengenakan perangkat pengaman yang melilit ditubuh. Lilitan alat pengaman itu kemudian dikaitkan pada tali khusus yang terhubung dengan roda yang menempel di atas kawat. Jantung saya berdebar ketika badan saya dipasangkan lilitan pengaman. Jika tidak biasa dengan ketinggian, berdiri di atas beberapa bilah kayu kecil di ujung luncur flying fox terasa menyeramkan.
“Siap ya,” Saptaji, fasilitator flying fox memberi aba-aba.
“Silakan jongkok, kakinya menggantung saja, biarkan beban diambil oleh tali,” Saptaji memandu saya.
Begitu saya melepaskan beban badan saya dari pijakan, tubuh saya meluncur perlahan lalu makin lama makin cepat. Wuuuussss…..Wooooowww…saya meluncur di atas jurang. Kengerian yang tadi menjalar seketika hilang. Pengalaman 20 detik yang fantastik. Di ujung bawah tiga orang fasilitator menghentikan laju luncur badan saya. Rasanya ingin mencoba lagi, tapi antrean masih panjang. Lagipula, matahari sudah mulai bergulir ke barat. Kalau ada kesempatan menjajal flying fox jangan pernah melewatkannya. Seru! Saya tidak bohong.
Dari tempat perhentian flying fox, Curug Cigamea hanya beberapa puluh meter saja. Jalannya masih berundak turun ke bawah. Sayang, kami datang saat musim kemarau. Curah air yang jatuh di atas tebing kecil saja. Tidak ada suara gemuruh air terjun. Ada dua curug di tempat ini yang saling bersisian. Curug pertama lebih kecil, namanya Curug Cibudal. Curug inilah yang airnya berasal dari mata air di areal tempat kami menginap. Curug satunya, yang lebih besar, adalah Cigamea. Kolam di bawah Curug Cibudal kecil sekali dan dangkal, tidak sampai sepinggang orang dewasa.
Sementara, kolam di bawah Curug Cigamea jauh lebih besar. Tapi, airnya terlihat lebih keruh. Rupanya tebing berwarna coklat pada dinding Cigamea mengandung kapur. Namun, hal ini tidak mengurangi keinginan sejumlah pengunjung di sore hari itu untuk menceburkan diri ke dalam kolam dan mandi di bawah air terjun yang dingin. Mereka yang tidak ingin berbasah-basah bisa menikmati percikan air yang terbawa angin sambil duduk di atas batu-batu besar di sekitar kolam.
Agak ke atas, di ujung jalan setapak, ada sebuah tempat datar. Ada sejumlah warung sekelilingnya. Kita bisa memesan jagung bakar dan secangkir aneka minuman panas sambil menikmati pemandangan air terjun.
Selain wisata air terjun dan Kawah Ratu di kawasan ini juga ada bumi perkemahan dengan fasilitas outbond training. Juga ada potensi kerajinan tangan di sejumlah desa sekitar seperti anyaman bambu yang berada di Kampung Cikoneng, pengrajin sapu injuk dan steer racing besi yang dimodifikasi dengan kayu di Desa Pamijahan.
Sayang, kami sudah kehabisan waktu untuk mengunjungi tempat-tempat itu. Hari sudah sore. Hari ini juga kami harus kembali ke Jakarta. Lain kali rasanya saya ingin meluangkan waktu lebih lama di sini. Tempat ini benar-benar tujuan wisata alternatif dekat Jakarta. Jarak tempuhnya kira-kira sebanding dengan Puncak. Di akhir pekan menuju Puncak membutuhkan waktu kurang lebih 4 jam, karena padatnya arus lalulintas. Gunung Bunder hanya 3 jam dengan lingkungan yang lebih asri. Pilihan wana wisata alamnya juga tidak kalah dengan puncak. Nah, kalau bosan dan pusing dengan kemacetan Puncak, ke Gunung Bunder aja...
(Selesai)
_________________
Informasi tambahan:
Akses menuju Gunung Salak Endah
1. Cemplang – Pamijahan – Gunung Salak Endah (akses jalur ini paling pendek dari Jalan Raya Bogor – Leuwiliang dibanding tiga jalur alternatif yang lain).
2. Cikampek – Gunung Salak Endah
3. Cibatok – Gunung Salak Endah
4. Taman Sari – Gunung Bunder – Gunung Salak Endah
Tiket Masuk Curug Cigamea Rp 3.500
Flying Fox Rp 20.000
The Michael Resorts
Jakarta Office:
Gedung Ariobimo Lt 6
Jl HR Rasuna Said
Jakarta Selatan
Ph: (021) 5229007
Sumber: Kompas.com
Suka dengan artikel ini? [Bagikan artikel ini ke teman2-mu di FACEBOOK. Klik disini]