Oleh: Ubaydillah, AN
http://www.gsn-soeki.com/wouw/
Mengapa coaching itu penting ?
Dari berbagai studi terungkap bahwa sebenarnya karyawan itu menyukai
kegiatan semacam training, seminar, workshop, dan semisalnya. Apalagi
jika misalnya kegiatan semacam itu diadakan di luar kantor, katakanlah
seperti di puncak, di hotel, di luar kota atau di luar negeri. Alasannya
tentu bermacam-macam. Mungkin ada yang karena ingin menambah
pengetahuan, meningkatkan keahlian, mendapatkan sertifikasi keahlian,
memperluas jaringan, ingin mendapat kawan baru, ingin berlibur, atau
hanya karena ingin menikmati budget pengembangan SDM yang sudah
disediakan organisasi.
Selain itu, secara manusiawi pun sebenarnya perusahaan atau pimpinan
akan lebih bangga, lebih bahagia dan lebih senang kalau sanggup mengirim
anak buahnya ke tempat pelatihan, seminar atau workshop. Mengapa?
Normalnya, manusia itu akan lebih bahagia kalau bisa memberi apa yang
dibutuhkan orang lain. Apalagi orang lain yang diberi itu adalah orang
yang selama ini membantu atau bekerja dengannya.
Cuma, dalam prakteknya hanya sedikit perusahaan atau organisasi yang
sanggup mengirim anak buahnya ke tempat pelatihan, seminar atau
workshop. Mengapa? Tentu ini sebabnya beragam. Mungkin ada yang
disebabkan dananya tipis. Training, seminar atau workshop sekarang ini
biayanya gila-gilaan. Apalagi jika diadakan di tenmpat-tempat yang elit.
Meski semua mengakui ini penting tetapi prakteknya hanya perusahaan atau
organisasi tertentu saja yang mau dan mampu.
Selain karena dana, waktu pun juga menjadi masalah. Untuk sebagian
organisasi atau perusahaan, bisa dibilang tidak ada waktu untuk mengirim
anak buah ke tempat pelatihan yang memakan waktu lebih dari satu hari.
Ini karena pekerjaan di kantor sendiri numpuk sampai ada yang lembur
segala. Mengirim anak buah ke tempat semacam itu bisa dianggap
pemborosan. Tak hanya soal dana dan waktu, efektivitas training, seminar
dan workshop, pun menjadi perhitungan sendiri.
Kalau mencermati berbagai hasil penelitian, ternyata tidak secara
otomatis kegiatan training, seminar atau workshop itu bisa efektif bagi
organisasi atau perusahaan. Secara hasil, penelitian membaginya menjadi
tiga kategori, yaitu: a) positive transfer, b) negative transfer, dan c)
poor transfer.
Kita pasti sepakat bahwa meningkatkan skill karyawan (dalam pengertian
yang luas) itu penting. Soal caranya bagaimana, ini memang butuh
penyesuaian berdasarkan keadaan kita masing-masing. Untuk sebagian kita
yang kebetulan belum bisa meningkatkan karyawan dengan mengirim mereka
ke pelatihan, seminar atau workshop, cara lain yang perlu kita lakukan
adalah membudayakan coaching.
Apakah Coaching itu ?
Coaching adalah pembinaan. Secara teoritis, coaching adalah proses
pengarahan yang dilakukan atasan / senior untuk melatih dan memberikan
orientasi kepada bawahanya tentang realitas di tempat kerja dan membantu
mengatasi hambatan dalam mencapai prestasi kerja yang optimal. Kegiatan
ini akan sangat tepat diberikan kepada orang baru, orang yang menghadapi
pekerjaan baru, orang yang sedang menghadapi masalah prestasi kerja atau
orang yang menginginkan pembinaan kerja. Tujuannya adalah untuk
memperkuat dan menambah kinerja yang telah berhasil atau memperbaiki
kinerja yang bermasalah
Kalau diuraikan dalam kata-kata, manfaat coaching ini antara lain:
1. Meningkatkan TC ke DC
Istilah ini saya pinjam dari literatur kompetensi. Di sana dikatakan
bahwa TC (thereshold competency) adalah kompetensi dasar yang dimiliki
seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya tetapi kompetensi ini belum
bisa dibilang sebagai keunggulan. Jika seorang sekretaris baru bisa
menyalin surat ke komputer, jika seorang operator hanya bisa mengangkat
telepon, jika seorang sales baru bisa mengetahui produk dan menelpon
orang atau mengirim faksimile penjualan, ini semua adalah TC. Memang itu
tugas dasarnya.
Sedangkan DC adalah Differentiating Competencies (DC). DC adalah
karakteristik yang dimiliki oleh orang-orang yang berkinerja tinggi
(high performer) dan yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang
berkinerja rendah (low) atau kurang (poor). Kita bisa ambil contoh
misalnya seorang sales yang sudah menguasai keahlian-keahlian yang
dibutuhkan untuk memelihara pelanggan yang menghasilkan hubungan
kausalitas dengan penjualan. Sales seperti ini bisa dikatakan orang yang
berkinerja tinggi dengan kompetensi yang dimiliki.
Persoalan yang kita hadapi adalah, bagaimana meningkatkan TC seseorang
menjadi DC? Disinilah coaching berperan. Kalau kita hanya menyerahkan
(memasrahkan) urusan ini kepada masing-masing individu, bisa-bisa saja.
Cuma saja di sini kerap menimbulkan masalah, sebab tidak semua individu
sadar, tidak semua individu tahu, dan tidak semua individu menempuh cara
yang efektif dan efisien untuk meningkatkan keahliannya dari TC ke DC.
Konon, 98 % dari usaha untuk membangun kompetensi terjadi melalui
pekerjaan yang dilakukan
2. Jalan menemukan 3R
Meski semboyannya SDM itu aset, tetapi prakteknya tidak seluruhnya
begitu. Banyak SDM yang belum menjadi aset. Kata orang-orang SDM: "Hanya
SDM yang bagus yang menjadi aset usaha". Bagus ini apa penjelasannya?
Penjelasan yang umum bisa kita singkat dengan 3 R: right people, right
job and right performance.
Persoalan yang kita hadapi adalah bagaimana menemukan 3R ini? Tentu kita
sadar bahwa 3R ini bukan sebuah hasil yang final (one-off). Amat sangat
jarang kita bisa langsung menemukan orang yang tepat untuk ditempatkan
di pekerjaan yang tepat agar bisa mencapai performansi yang tepat
(tinggi). Yang sering terjadi, 3R ini ini dicapai melalui proses.
Jangan kan karwayan, presiden atau menteri atau pejabat negara yang
sudah diseleksi sedemikian rupa pun tidak bisa langsung mencapai 3R ini.
Bahkan waktu seratus hari pun dikatakan belum valid untuk menilai
kinerja presiden dan menterinya.
Karena itu, coaching bisa menjadi salah satu jalan untuk menemukan 3R.
Kalau pun 3R ini belum bisa diwujudkan ke tingkat yang ideal, tapi
setidak-tidaknya coaching yang kita lakukan akan memperluas wilayah
"interkoneksi" antara 'workforce requirement' dan 'workforce
capabilities'. Kalau pekerjaan yang ada menuntut orang yang punya skill
berskala 7, sementara skill orang-orang yang ada hanya sampai pada skala
5, ini tentu wilayah interkoneksinya belum nyambung. Supaya nyambung,
harus dinaikkan.
3. Jalan menemukan pemimpin dari dalam
Dulu, praktek bajak-membajak tenaga ahli pernah menjadi isu besar di
beberapa media massa. Sekarang pun praktek semacam ini masih kerap
dilakukan meski sudah jarang dijadikan berita. Adakah sesuatu yang salah
dengan praktek bajak-membajak ini? Secara konsep memang tidak. Cuma
dalam prakteknya, tidak semua orang yang kita bajak itu menjadi
"berkah". Ada yang malah menjadi beban. Artinya, meski konsep ini bisa
jadi benar di teorinya tetapi untuk mempraktekkannya butuh konteks yang
tepat dan alasan yang spesifik.
Kalau melihat hasil studi yang dilakukan Jim Collin, rupanya praktek
bajak-membajak ini kurang digemari oleh para pemimpin usaha yang sudah
sanggup menggerakkan usahanya dari good ke great. Mereka rupanya punya
tradisi untuk mengembangkan seorang pemimpin (senior atau tenaga ahli)
dari dalam. Dipikir-pikir, ini memang rasional. Orang dalam yang kita
kembangkan, akan memiliki pengetahuan tentang keadaan secara lebih
mendalam ketimbang tenaga baru yang kita bajak.
Nah, kalau melihat ke sini, coaching bisa kita jadikan instrumen atau
jalan untuk melahirkan seorang pemimpin dari dalam. Dilihat dari
efektivitas dan efisiensinya, cara ini mungkin lebih menjamin ketimbang
membajak tenaga baru yang masih "abu-abu". Kalau pun orang yang kita
coaching itu tidak menjadi pemimpin di tempat kita, tetapi
setidak-tidaknya kerjanya sudah lebih bagus.
Hambatan di Lapangan
Apa yang perlu di-coaching-kan? Kalau mengacu pada standar yang umum,
yang perlu di-coaching-kan adalah hard skill dan soft skill (istilah
lain: soft competency dan hard competency, job skill dan mental skill).
Semua karyawan menginginkan skill-nya naik, tapi cara yang mereka
inginkan ternyata (yang paling digemari) adalah face-to-face coaching di
tempat kerja. 88 % jawaban responden yang diteliti meyakini bahwa
memiliki seorang mentor atau coacher di tempat kerja merupakan hal yang
penting untuk kemajuan karirnya (CCL, Emerging Leader Research Survey
Summary Report, 2003)
Meski sedemikian rupa coaching itu pada hakekatnya dibutuhkan, tetapi
prakteknya masih belum banyak yang melakukan. Beberapa hal yang kerap
menghambat terlaksananya kegiatan yang mulia ini, misalnya:
1. Budaya menghakimi / memarahi
Kita langsung memarahi karyawan saat melakukan kesalahan. Marah
terkadang tidak bisa dihindari tetapi yang kerap kita lupakan adalah apa
yang kita lakukan setelah marah. Kalau yang kita lakukan membenci atau
menjauhi, tentu akan berbeda efeknya dengan ketika yang kita lakukan
setelah itu adalah mendekati dan meng-coach-nya.
2. Budaya membiarkan
Kita membiarkan karyawan bekerja sendiri-sendiri karena kita malas atau
tidak peduli dengan skill mereka. Membiarkan seperti ini tentu berbeda
dengan membiarkan yang punya pengertian memberi kesempatan untuk mandiri
dalam menerapkan pengetahuan.
3. Budaya mengerjakan sendiri
Kita menangani sebagian besar pekerjaan dan enggan untuk
mendelegasikannya kepada yang lain karena kurang percaya
4. Budaya mengharapkan hasil yang instan
Kita mengharapkan hasil yang instan dari apa yang kita instruksikan
pada mereka.
5. Budaya arogansi birokrasi
Kita menjaga jarak dengan karyawan untuk melindungi gengsi atau kita
enggan turun ke bawah. Umumnya kita, semakin tinggi jabatan atau posisi,
justru semakin jauh dari realitas yang bersentuhan langsung dengan
manusia dan masalahnya di bawah.
Dan lain lain seterusnya
Kalau mengacu pada teori pendidikan, meng-coach karyawan itu
sebenarnya juga termasuk mendidik. Bicara soal pendidikan ini mungkin
ada satu hal yang perlu kita ingat bahwa metode yang kita gunakan dalam
mendidik orang itu jauh lebih berperan penting ketimbang materi yang
kita sampaikan. Materi yang bagus akan diresponi tidak bagus kalau
metode yang kita gunakan tidak cocok dengan keadaan orang yang kita
coach.
Beberapa hal yang penting
Untuk sebagian orang, kegiatan meng-coaching ini mungkin sudah menjadi
sebuah realitas tetapi belum ada namanya. Artinya, kegiatan ini sudah
dipraktekkan tetapi tidak memakai nama coaching. Sebaliknya juga,
mungkin untuk sebagian orang, kegiatan meng-coaching ini hanya sebuah
nama tetapi tanpa realitas. Artinya, kita hanya tahu apa itu coaching,
manfaatnya apa, tujuannya apa, tetapi tidak pernah kita praktekkan.
Terlepas itu sudah menjadi realitas atau baru sebatas nama, tetapi
sebetulnya ada beberapa hal yang penting untuk diingat, yaitu:
1. Memiliki data yang akurat
Data di sini mungkin tidak harus kita artikan sebagai data dalam
pengertian yang formal dan rumit. Data di sini bisa juga kita artikan
sebagai catatan pribadi yang berisikan tentang gap antara skill yang
dimiliki karyawan dengan tuntutan pekerjaan. Bisa juga berisi masalah
yang dihadapi si karyawan dalam kaitannya dengan kinerjanya. Bisa pula
berisi tentang perkembangan si karyawan yang kita coaching itu dari
waktu ke waktu. Dengan memiliki apa yang kita sebut data itu, berarti
ketika kita hendak meng-coach orang, kita sudah tahu apa yang perlu dan
apa yang belum perlu, mana yang perlu ditekankan dan mana yang belum
perlu, dan seterusnya.
2. Menemukan metode yang "teachable"
Seperti yang saya katakan di muka, bahwa dalam meng-coaching ini memang
kita dituntut untuk memerankan diri sebagai pendidik. Hal yang
terpenting di sini adalah menggunakan atau menemukan metode mendidik
yang dapat membuat orang yang kita didik itu bisa mendidik orang lain
dan begitu seterusnya. Dengan begitu, tanpa harus kita yang turun
langung, program coaching tetap berjalan di tempat kita. Ini tentu
sangat positif. Selain meminterkan orang lain, ini juga bisa membentuk
lingkungan yang positif.
3. Menghidupkan, bukan mematikan
Ini soal cara bagaimana meng-coach orang. Meski kita sudah sama-sama
tahu bahwa cara yang bagus adalah menghidupkan semangat orang, tetapi
dalam prakteknya belum tentu pengetahuan itu kita gunakan. Ada cara yang
menghidupkan tetapi ada cara yang mematikan, ada cara yang mendorong
tetapi ada cara yang malah menarik. Cara yang kita gunakan terkadang
bisa bertentangan dengan niat yang kita maksudkan. Karena itu, meski
niat kita baik, namun kalau cara yang kita gunakan itu mematikan,
me-looking-down-kan, atau menghinakan, bisa jadi hasilnya bukan malah
bagus. Semoga bermanfaat!!
Sumber : e-psikologi
Oleh: Ubaydillah, AN
http://www.gsn-soeki.com/wouw/
.
Suka dengan artikel ini? [Bagikan artikel ini ke teman2-mu di FACEBOOK. Klik disini]