Pendidikan Media; Refleksi atas Pesan Paus Benekdiktus XVI pada Hari Komunikasi Sedunia 2007
http://www.gsn-soeki.com/wouw/
(Sumber: Hati Kudus Yesus Newsletter 20 Mei 2007)
(Penulis: Agus Alfons Duka, SVD (Koordinator Komunikasi Provinsi SVD Ende, Flores))
Pengantar redaksi HKY Newsletter :
Karena keterbatasan halaman, artikel ini disunting tanpa menghilangkan esensi pesan yang ingin disampaikan penulis. Artikel utuh dapat dibaca di www.mirifica.net Harap pembaca maklum
---
Pada tanggal 24 Januari 2007, Paus Benediktus XVI mengeluarkan pesan komunikasi bagi seluruh umat manusia yang berkehendak baik, dan secara khusus untuk umat Katolik sejagat dalam rangka Hari Komunikasi Sedunia ke-41 yang dirayakan pada 20 Mei 2007.
Dengan mengambil tema "Anak-anak dan Media: Sebuah Tantangan bagi Pendidikan", Sri Paus mengajak umat kristiani untuk merenungkan dan merayakan peranan media komunikasi dalam pendidikan anak. Dalam tema itu termuat dua pikiran dasar yang patut mendapat perhatian gereja, yakni pendidikan anak dalam hubungan dengan realitas yang diciptakan oleh media komunikasi (realitas mediasi atau realitas representasi), dan yang berikut adalah peran media sebagai penanggungjawab perkembangan hidup anak.
PENDIDIKAN ANAK DALAM KAITANNYA DENGAN REALITAS MEDIASI
Kita sepakat bahwa ketiga institusi tradisional yakni keluarga, gereja dan sekolah tidak lagi menjadi satu-satunya pencari, pengumpul dan penyaji informasi bagi masyarakat dan anak-anak. Kini, peran ketiga institusi itu diambil alih dengan lebih profesional oleh media komunikasi. Peran guru sekolah kini menjadi lebih berat karena ia akan dipertemukan dengan murid yang datang dengan sejumlah informasi dan pengetahuan berbasis media (koran, majalah, radio, televisi, dan internet). Maka mau atau tidak, seorang guru di jaman "information booming" seperti sekarang ini dituntut untuk tanggap dan sigap dengan hadirnya jenis murid yang baru itu.
Dengan perkembangan internet, semua lembaga itu menjadi berantakan. Ensiklopedi dan kamus mulai ditinggalkan. Google menjadi "buku pintar" pencari informasi yang tercepat, termudah dan terbaru mengikuti metodologi jurnalisme yang andal. Makanya, tak pelak, orang menyebut sebagai "profesor google".
Anak-anak akan terombang-ambing untuk menentukan mana yang benar, mana yang baik untuk dicerna, dipercayai dan ditiru. Tak ada panduan moral untuk itu. Dan tanpa satu wadah diri yang kuat, anak-anak akan sangat mudah terjerumus dalam informasi yang dapat mencelakakan diri sendiri dan melecehkan orang lain. Jati diri mereka akan dibentuk berdasarkan realitas yang disajikan oleh media. Dan dalam situasi seperti itulah, pesan Paus Benediktus XVI menjadi sangat penting ketika ia mengajak ketiga lembaga tradisional itu untuk mengambil alih tanggungjawab mereka terhadap pendidikan anak dan tidak "mempersembahkan" tanggungjawab itu melulu kepada media massa modern.
Sri Paus menandaskan: "Mendidik anak-anak agar mereka dapat memilih dengan baik pemanfaatan media adalah tanggungjawab orangtua, Gereja dan sekolah. Peranan orangtua adalah yang paling penting. Mereka mempunyai hak dan kewajiban untuk memastikan, bahwa anak-anak mereka memanfaatkan media dengan bijak, yakni dengan melatih hati nurani anak-anak agar dapat mengungkapkan secara sehat dan objektif penilaian mereka yang nantinya akan menuntun mereka untuk memilih atau menolak acara-acara yang tersedia."
PERAN MEDIA SEBAGAI PENANGGUNGJAWAB PERKEMBANGAN HIDUP ANAK
Sejarah membuktikan bahwa salah satu tantangan terbesar bagi media komunikasi untuk mengembangkan jurnalisme berkualitas selalu terhambat dengan idiologi kapitalis yang berada di belakangnya. Kalau mau berkualitas, diperlukan biaya produksi yang mahal. Untuk bisa mendanai mahalnya suatu industri media, peranan para kapitalis (pemilik modal) menjadi sangat penting. Idiologi kapitalis akan turut dimasukkan seiring dengan jumlah sumbangan modal yang diberikan. Kualitas berita dan pesan media perlahan-lahan mulai ditunggangi oleh idiologi-idiologi yang mendanai terciptanya program-program itu. Bila media massa mulai masuk dalam industri, dan nilai ekonomi mulai menjadi wacana tandingan maka, nilai-nilai etika menjadi goncang. Idealisme tentang independensi media komunikasi hanyalah ilusi. Lihat saja, berapa banyak televisi yang bernuansa pendidikan murni yang masih bertahan. Bahkan televisi-televisi komersial-lah yang kini menjadi pendidik alternatif bagi anak-anak jaman sekarang ketimbang televisi pendidikan. Paus Benediktus XVI menyadari persoalan ini ketika menandaskan bahwa, "Sambil menegaskan keyakinan, bahwa banyak orang yang terlibat dalam komunikasi sosial berkemauan untuk melakukan apa yang benar, kami harus juga mengakui, bahwa mereka yang bekerja di bidang ini berhadapan dengan "tekanan psikologis khusus dan dilema-dilema etik", karena adakalanya mereka harus menyaksikan bahwa persaingan komersial telah memaksa para komunikator untuk menurunkan standar mutunya."
BAGAIMANA DENGAN KOMUNIKASI GEREJA?
Media teknologi modern memiliki struktur, cara operasional, logikanya sendiri. Seperti media massa, struktur dan operasionalnya telah ditata sedemikian rupa sehingga ia bersifat tunggal arah dan berdampak massal. Pada hemat saya, dua unsur berikut ini perlu mendapat perhatian secara khusus dalam komunikasi gereja dewasa ini.
PERTAMA, memanfaatkan daya media massa modern yang ada seperti radio, televisi, multimedia, internet. Karena sebagai piranti, media-media itu telah memiliki hubungan psikologis yang sangat erat dengan khalayak berbagai usia dan jenis kelamin. Karena itu tidak ada alasan untuk menolak menggunakannya. Yang perlu diperhatikan gereja dan para pelaku media adalah memasukkan nilai-nilai manusiawi dan kristiani sesuai dengan struktur dan logika, seturut kekhasan kemasan media massa, sesuai dengan "ekosistem" media massa.
KEDUA, memberdayakan media alternatif yang lazim dikenal sebagai media komunitas seperti teater rakyat, wayang, drama, poster, selebaran, forum diskusi, dan folkmedia dalam bentuk sastra rakyat seperti pantun, teka-teki, syair, tarian, nyanyian, dll. Media komunikasi komunitas ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya-budaya bangsa kita. Umumnya media-media itu memiliki hubungan yang sangat erat dengan pesan-pesan moral, tentang yang baik dan yang jahat. Tidak mahal, dapat dijangkau, bersifat kolektif sehingga pesan-pesan-pun dapat dirancangkan dan didiskusikan bersama. Malah orang-orang sekomunitaslah yang akan menjadi lakon dalam media-media itu.
Disini, justru riset khalayak-lah yang menjadi variabel suatu proses komunikasi. Bahwa orang akan melihat dinamika hidup masyarakat tertentu lalu mencari media yang sesuai dengan bentukan masyarakat yang ada. Dan bukan sebaliknya, memilih media terlebih dahulu dan kemudian memformat masyarakat untuk diselaraskan dengan logika media. (@)
Suka dengan artikel ini? [Bagikan artikel ini ke teman2-mu di FACEBOOK. Klik disini]