16 Juni 2006 - 13:42
Gereja Minta Umat Mengubah Sikap Terhadap Orang Cacat
http://mirifica.net/wmview.php?ArtID=3016
JAKARTA (UCAN) -- Mempersiapkan peringatan 200 tahunnya pada tahun depan, Keuskupan Agung Jakarta mengadakan seminar dan dialog dengan berbagai kelompok, termasuk kelompok penyandang cacat baru-baru ini.
Biro Laetitia (sebuah biro pelayanan sosial Keuskupan Agung Jakarta) dari Lembaga Daya Dharma mengadakan sebuah seminar bertema "Cacat Fisik dan Mental: Berkat atau Kutuk?"
Dalam acara 27 Mei itu, sekitar 100 orang cacat yang dilayani biro itu hadir bersama sekitar 50 pekerja sosial dan aktivis, termasuk para suster yang melayani orang cacat. Acara lima jam itu diselenggarakan dalam kerja sama dengan Mitra Kelompok Kategorial Keuskupan Agung Jakarta.
Menurut penyelenggara, seminar yang diadakan di aula Gereja Katedral itu bertujuan untuk menciptakan pemahaman yang lebih benar dan tepat tentang kecacatan dan penyandang cacat dalam kehidupan menggereja.
Perubahan persepsi itu perlu. Perubahan dari paradigma charity (belas kasihan) ke paradigma rights (hak asasi), dan dari pemahaman sebagai sebuah kutukan ke pemahaman sebagai sebuah berkat, demikian siaran pers 26 Mei.
Sebagai umat Kristiani, anggota Gereja, para penyandang cacat tidak dapat dipisahkan dari kehidupan menggereja. Umat yang cacat -- buta, bisu, tuli, lemah mental, dan pincang mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk memahami dan melaksanakan aturan dan ajaran Gereja, jelas pernyataan pers itu.
Namun diakui, dalam realitas orang cacat dan keluarganya mengalami diskriminasi lantaran adanya persepsi dan sikap tertentu dalam Gereja. Berulang kali, Gereja bertindak diskriminatif dan bersikap kasihan terhadap orang cacat. Sikap seperti itu bahkan menyulitkan dan membatasi interaksi orang cacat dengan para anggota Gereja yang lain, kata penyelenggara.
Para pemimpin dan anggota Gereja mestinya berpandangan positip dan berinteraksi dengan orang cacat dan keluarganya, tulis siaran pers itu.
Menjelaskan tema seminar kepada peserta, direktur LDD KAJ Pastor Ignatius Swasono SJ menekankan perlunya perubahan persepsi dalam Gereja terhadap penyandang cacat. Cacat itu bukan kutukan tapi berkat.
Menyinggung pidato Paus Yohanes Paulus II dalam simposium internasional 8-9 Januari 2004 di Vatikan pada upacara penutupan tahun penyandang cacat Eropa, Pastor Swasono mengatakan: sekalipun penyandang cacat memiliki keterbatasan mental, sensorik, ataupun intelektual, mereka tetap merupakan pribadi utuh. Mereka berhak untuk menikmati hal-hal yang suci dan tidak boleh diasingkan seperti yang dinikmati setiap manusia lainnya."
Memang tetap perlu adanya perhatian dan perlakuan khusus bagi penyandang cacat, kata Pastor Swasono, agar mereka bisa turut mengambil bagian dalam karya Gereja.
LDD, katanya, telah mengembangkan berbagai program untuk memberdaya orang cacat. Dalam bidang rohani, LDD mengusahakan adanya Misa, retret, pendampingan katekumen, kursus persiapan nikah yang khusus bagi mereka. Misa dan pendalaman iman bagi tuna rungu dilakukan setiap bulan.
Dalam bidang pendidikan, LDD menyediakan beasiswa bagi anak cacat di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Umum. Mereka juga diberi pelatihan komputer, salon, jurnalistik, pijat, musik, menyanyi, dan kredit union.
Menurut Pastor Swasono, Biro Laetitia kini melayani 729 penyandang cacat. Dari jumlah itu ada 517 tuna netra, 130 tuna rungu, 39 tuna grahita (cacat mental), dan 43 tuna daksa (cacat fisik).
Kata bahasa Latin Laetitia yang berarti kebahagiaan dipakai sebagai nama biro itu ketika biro itu dibentuk tahun 1992. Biro itu dibentuk atas prakarsa sebuah kelompok umat Katolik tuna netra sebagai sebuah wadah kebersamaan bagi para tuna netra se-Keuskupan Agung Jakarta. Tahun 1997, biro itu menjadi bagian dari LDD dan tahun 2000 biro itu mulai melayani penyandang cacat lainnya.
Pendeta Sylvana Ranti Maria Apituley dari Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, yang menjadi pembicara lain dalam seminar itu, mengatakan dengan penuh penyesalan bahwa masyarakat masih melihat dan memperlakukan orang cacat sebagai warga negara kelas dua."
Yohanes Emmanuel, seorang anak tuna netra laki-laki, mengatakan kepada UCA News ketika mengikuti seminar itu, orang tuanya membuangnya ketika ia masih bayi karena mereka malu bayinya buta. Murid Sekolah Luar Biasa di Bekasi itu berterima kasih kepada Biro Laetitia karena membantunya sehingga hidupnya sekarang menjadi lebih baik.
Saya gembira, kata Emmanuel, karena bisa bersekolah dan memiliki banyak teman meskipun saya tidak bisa melihat mereka.
Suka dengan artikel ini? [Bagikan artikel ini ke teman2-mu di FACEBOOK. Klik disini]