Koleksi artikel Karir, Komputer, Pengembangan Pribadi, Rohani dll
Home · Terbaru · Populer · Web Links 28 Apr 2025
GSN recommended web :
Ide2 bisnis, ide2 blog dari Cosa Aranda





Search

Artikel Web Link
Kategori
Excel Tips
Film Bioskop
Humor
Karir
Keluarga
Komputer & Internet
Pemasaran
Pengembangan Pribadi
Pernikahan
Relasi
Rohani
Virus & Antivirus
Webmaster
Lain-lain
Feed Back
Nama:
Email:
Pertanyaan/ Masukan/ Request Artikel/ Comment:

. . . .

Untuk mengundang Motivator Top Indonesia di Perusahaan / Organisasi Anda bisa kunjungi website dibawah ini:

Motivator Indonesia

Paus: Dialog dengan Islam secara timbal balik dan menghormati identitas orang sebagai dasarnya
[EROPA/VATIKAN, 17 Mei 2006]
Benediktus XVI berbicara tentang masalah ini pada rapat pleno Konsili Pontifikal untuk Layanan Pastoral kaum Imigran dan Gelandang. Romo Borrmans berbicara tentang situasi umat Kristiani di negara-negara Muslim.

Dalam sebuah pertemuan dengan para peserta rapat pleno Konsili Pontifikal untuk Layanan Pastoral kaum Imigran dan Gelandang, Paus Benediktus XVI mengatakan bahwa umat Katolik harus menyambut umat Muslim dan mengajak mereka berdialog, namun dengan menambahkan bahwa mereka harus menjunjung tinggi "Preposisi Kristiani" sementara menghormati identitas mereka sendiri dan prinsip dari "timbal balik".

Berbicara tentang topik diskusi rapat - Imigrasi dan Gelandang ke dan dari Negara-negara Mayoritas Muslim - , Paus mencatat bahwa adalah itu adalah sebuah fenomena sosial yang semakin penting, yang membutuhkan refleksi yang lebih besar, "bukan hanya dalam hal jumlah namun terutama karena identitas Muslim adalah unik di dalam gambaran keagamaan dan budayanya." "Gereja Katolik semakin menyadari bahwa dialog antar-agama adalah bagian dari komitmennya kepada kemanusiaan di dunia saat ini," tambahnya.

"Kepercayaan yang kuat ini menjadi 'renungan harian' kita seperti sebelumnya, terutama bagi mereka yang bekerja dengan kaum imigran, pengungsi dan gelandang."

"Kita hidup dalam sebuah masa di mana umat Kristiani dipanggil untuk memelihara sebuah dialog agama yang terbuka, namun di mana mereka tidak mengabaikan 'preposisi Kristiani', dan tetap bertalian dengan identitas mereka. Sebagai tambahan, hubungan timbal balik adalah bagian dari dialog, sesuatu yang mana instruksi Erga migrantes caritas Christi secara benar menganggapnya sebagai sebuah 'dasar' yang teramat penting.

"Kepentingan dan mudah pecahnya komitmen ini ditunjukkan terbaik dengan usaha-usaha yang dibuat di banyak komunitas untuk menempa hubungan dengan kaum imigran yang didasarkan atas saling menghormati dan saling menyadari satu sama lain. Usaha-usaha ini terlihat sangat berguna dalam mengatasi prasangka-prasangka dan dinding-dinding mental."

Benediktus XVI berbicara secara gamblang tentang bagaimana umat Kristiani menyambut kaum imigran dan gelandang dan mengajak mereka berdialog. Dalam pandangannya, titik referensi mereka tetap selalu kasih Kristiani, yang, "dengan sifar dasarnya, menjadi yang pertama. Inilah mengapa umat dipanggil untuk menyambut orang dengan tangan dan hati terbuka, dari segala negeri, meninggalkan tanggung jawab kepada para pejabat berwenang untuk menentukan hukum terbaik apa yang menjamin orang dapat hidup bersama." Kasih, tekannya, harus "terutama ditunjukkan kepada yang miskin".

"Jelas," katanya dalam penutupan, "bahwa kita harus mengharapkan agar umat Kristiani yang berimigrasi ke negara-negara mayoritas Muslim disambut dan menemukan penghormatan akan identitas agama mereka."

Situasi warga Kristiani di negara-negara Muslim adalah salah satu masalah yang dibahas oleh rapat pleno tersebut. Dalam laporannya, Rm Maurice Borrmans, M.Afr., yang mengajar di Institut Bahasa Arab dan Studi Islam Pontifikal (P.I.S.A.I), menekankan kejamakkan situasi tersebut.

Di kelima negara Maghreb, "Warga Kristiani adalah orang luar kecuali untuk sebuah minoritas kecil di Aljeria. Mereka adalah tamu-tamu; beberapa untuk waktu sementara, yang lain untuk menetap sebagai sebuah hasil dari sektor turisme yang berkembang pesat (terutama di Tunisia). Meskipun status hukum dan otonomi dari Gereja telah dijamin saat ini dalam hukum di negara-negara ini, situasi umat Kristiani di wilayah tersebut tetap tidak menentu.

Lima dari enam negara-negara Dewan Kerjasama Teluk Persia (GCC) "telah memiliki sambutan yang baik (terhadap warga Kristiani) dan menghormati dasar kebebasan beragama." 1,7 juta warga Katolik yang hidup di negara-negara ini dapat bergantung pada "paroki-paroki yang berkembang dan sejumlah sekolah-sekolah swasta Katolik yang menyambut baik pelajar-pelajar Kristiani dan Muslim."

Kecuali Saudi Arabia, anggota GCC yang terpenting. Di kerajaan itu "segala bentuk ibadah yang lain daripada Islam dilarang. 1,2 juta warga Katolik (dari 20 juta total jumlah penduduk) yang hidup di negara itu memilik akses hanya kepada layanan pastoral bawah tanah, sesuatu yang beresiko dan penuh bahaya. Sebaliknya, di Yemen, hanya ada sejumlah kecil orang asing dan hanya sekitar 3.000 warga Katolik yang kebutuhan spiritualnya diberikan secara cukup oleh imam-imam dan biarawati.

Di Sudan, "yang mana situasi terakhirnya adalah yang paling sulit, 2 juta warga Katolik menghadapi sebuah situasi tunggal paska perang sipil tahunan dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirancang untuk menerapkan Sharia di seluruh wilayah negara. Perjanjian perdamaian terkahir seharusnya menuntun kepada rekonsiliasi dan menormalkan situasi dibalik cobaan kejadian di Darfur."

"Di sub-Sahara Afrika, pemisahan antara negara dan agama yang diwariskan dari Perancis dan Inggris Raya telah memberikan warga minoritas Kristiani kesempatan-kesempatan substansial, terlebih-lebih sejak mereka memberikan pelayanan yang dihargai oleh masyarakat tuan rumah.

Di Asia Selatan, di mana setengah dari umat Muslim sedunia hidup, nasib dari umat Kristiani berlainan dari negara yang satu ke negara yang lain. "Sekitar 3,8 juta warga Kristiani (1,2 juta umat Katolik) hidup di Pakistan, sebuah negara berpenduduk 156 juta jiwa. Di sini, mereka mendirikan sebuah ikatan pemilihan yang terpisah, dan menjadi subyek dari legislasi 'hujatan'. Sebuah hinaan (di depan umum) kepada Qur'ân, Muhammad atau Islam, betapapun kecilnya, dapat menempatkan warga Kristiani manapun dipersidangan dan membiarkan semua warga Kristiani dalam bahaya dari dendam publik."

Di Bangladesh, untuk sekitar 1,5 juta warga Kristiani (235.000 umat Katolik) dari 129 juta penduduk, "situasinya kurang lebih sama."

Di Malaysia, "orang dapat menemukan warga Kristiani hanya di komunitas lokal Cina dan India yang berimigrasi ke negara itu dahulu kala. Anehnya, warga non-Muslim dilarang secara hukum menggunakan bahasa Malaysia untuk tujuan-tujuan keagamaan."

Indonesia, dengan jumlah penduduk 212 juta jiwa termasuk 27,8 juta warga Kristiani (5,7 juta warga Katolik), dapat "mengklaim dengan benar menjadi sebuah masyarakat pluralistik yang diinspirasi oleh dasar-dasar Pancasila. Namun demikian, gerakan-gerakan anti-Kristiani telah terjadi di pulau Maluku dan Sulawesi. Dan tak ada seorang pun yang dapat melupakan apa yang terjadi di Timor Timur dan Barat.

"Di India, di mana jumlah penduduk melampaui 1 miliar jiwa, terdapat 107 juta warga Muslim dan 62 juta warga Kristiani (15,5 juta Katolik) yang hidup berdampingan dengan cukup damai dan bersatu dalam kerjasama positif."

Kebanyakan dari 60 juta warga Filipina hampir seluruhnya adalah Katolik, namun ada sekitar 3,27 juta warga Muslim. Meski mendapat hak akan status pribadi Muslim mereka, namun mereka adalah penyebab keprihatinan di pulau Mindanau dan pulau Sulu."

Menurut Romo Boormans, masa depan warga Kristiani di tanah Muslim tidak membaik. "Perselisihan aliran agama yang terjadi di Lebanon, konflik terakhir antara warga Yahudi dan Palestina di Tanah Suci, peristiwa-peristiwa paska serangan teroris di New York, Madrid dan London, semuanya telah membuat 'hidup berdampingan' lebih sulit.

"Kaum minoritas selalu dijadikan korban atas dasar penyamarataan yang cepat dan kesederhanaan pikiran-pikiran yang menghembuskan nafas baru kepada prasangka-prasangka lama dan mimpi-mimpi akan perang salib atau jihad.

"Keberhasilan yang relatif dari lebih kurang gerakan-gerakan Islam garis keras fundamentalis adalah memaksa umat Muslim moderat dan institusi Muslim yang dikontrol negara untuk menekankan identitas Islam mereka lebih daripada sebelumnya.

"Bahayanya adalah Saudi Arabia dapat muncul sebagai contoh yang sempurna dari sebuah masyarakat Muslim di mana segalanya diatur oleh Qur'ân, Sunnah, and Fiqh menurut pengertian 'Wahhabi' nya yang lebih dogmatis.

"Namun pada kenyataannya, setiap negara mengatur Islam dan mengertikan dasar-dasarnya dengan cara mereka sendiri. Dalam menahan kontrol atas agama yang mendominasi, mereka memberikan masyarakatnya sebuah karakter Islam yang menyeluruh dan dalam melaksanakan hal itu warga non Muslim sering kali dapat merasa tersisihkan.

(diterjemahkan oleh Shirley Hadisandjaja dari sumber AsiaNews, 15 Mei)
Shirley Hadisandjaja
http://www.pondokrenungan.com
Suka dengan artikel ini? [Bagikan artikel ini ke teman2-mu di FACEBOOK. Klik disini]


Posted: 15 June 2006 11:503587 Reads - Print
Ratings
Please select your Rating:
No Ratings have been Posted.
Artikel Sebelumnya:
Kristianitas adalah sebuah hubungan, bukan sebuah ideologi, kata Paus

Paus kepada kaum muda: Hadirkanlah Allah di dalam masyarakat

Tradisi menyatukan Gereja dari segala jaman, kata Paus

Apakah kamu punya Piaraan Kelinci?

Tentara yang Lelah, Angkatan Bersenjata Rohani

Artikel Lainnya:
Renungan Harian Katolik RenunganPKarmCSE.com

Koleksi ucapan/sms Selamat Tahun Baru 2011

Pesan Paus untuk para Imam: "Kita Harus nge-Blog"

Penyakit Kawasaki Hadir di Indonesia;; 5.000 Balita Menderita Penyakit Kawasaki;; RS Omni Dirikan Kawasaki Center

Netbook HP (Notebook mini Hewlett-Packard) yang paling dicari saat ini: HP mini 1013TU, HP 1169, HP 1179

Melakukan Lima Usaha Marketing (3)

Membangun Spirit Bangsa

Milis Yahoogroups yang mendadak hilang/dihapus

I Love You, Honey

Jurus-Jurus Marketing Inspirasional (Jurus Orchard Road)



It's free for YOU. Gratis untuk ANDA!