Menteri Agama (Menag), M Maftuh Basyuni menegaskan, dukungan masyarakat
setempat untuk mendirikan rumah ibadah paling sedikit 60 orang tidak
bersifat mutlak. Bila jumlah dukungan itu tidak terpenuhi, sedangkan
calon pengguna rumah ibadah sudah memenuhi keperluan nyata dan
sungguh-sungguh, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi
tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.
"Ini berarti bahwa sekelompok umat beragama yang telah memenuhi
keperluan nyata dan sungguh-sungguh tidak akan ditolak keinginannya
untuk mendirikan rumah ibadah. Hanya saja lokasinya mungkin digeser
sedikit ke wilayah lain yang lebih mendapat dukungan masyarakat
setempat," kata Menag, Senin (17/4), Suara Pembaruan memberitakan.
Sosialisasi keputusan bersama dua menteri tersebut diberikan kepada para
Wagub, Kepala Kantor Agama, dan Perwakilan Kesatuan Bangsa dan Politik
Provinsi seluruh Indonesia. Sosialisasi diberikan Direktur Jenderal
Kesatuan Bangsa dan Politik Depdagri, Sudarsono Hardjo Soekarto.
Menag menjawab kritik berbagai kalangan yang disampaikan ke pemerintah
terkait dengan peraturan itu.
Ia mengatakan, Pemerintah sama sekali tidak mengatur soal doktrin agama
yang merupakan kewenangan masing-masing agama. Yang diatur hanyalah
hal-hal yang terkait dengan lalu lintas para pemeluk agama yang juga
warga negara Indonesia (WNI) ketika mereka bertemu WNI pemeluk agama
lain dalam mengamalkan ajaran agama mereka. Peraturan ini tidak
mengurangi kebebasan beragama yang dijamin Pasal 29 UUD 1945.
Beribadah dan membangun rumah ibadah adalah dua hal yang berbeda.
Beribadat adalah ekspresi keagamaan seseorang kepada Tuhan, sedangkan
membangun rumah ibadah adalah tindakan yang berhubungan dengan warga
negara lain karena kepemilikan, kedekatan lokasi dan sebagainya.
"Karena itu prinsip yang dianut dalam peraturan ini adalah pendirian
sebuah rumah ibadah harus memenuhi peraturan yang ada, kemudian dalam
waktu yang sama harus tetap menjaga kerukunan umat beragama, menjaga
ketenteraman, dan ketertiban masyarakat. Inilah prinsip, sekaligus
tujuan dari peraturan ini," ujarnya.
Dikatakan, peraturan ini dengan sendirinya menghilangkan keraguan
sebagian orang yang mengatakan, pemerintah daerah tidak mempunyai
kewenangan dan tanggung jawab di bidang kehidupan keagamaan sebagaimana
dipahami sepintas dari Pasal 10 UU No 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Jadi kewenangan pemerintah pusat di bidang agama berdasarkan bunyi pasal
tersebut hanyalah menyentuh pada aspek kebijakannya. Sedangkan aspek
pelaksanaan pembangunan dan kehidupan beragama itu sendiri dilakukan
semua warga, termasuk pemerintah daerah.
Suka dengan artikel ini? [Bagikan artikel ini ke teman2-mu di FACEBOOK. Klik disini]