SIDANG AGUNG GEREJA KATOLIK INDONESIA 2005
Wisma Kinasih, Caringin-Bogor, 16-20 November 2005
PENGANTAR
1. Keprihatinan bangsa merupakan keprihatinan Gereja. Dalam keprihatinan tersebut diselenggarakan Sidang Agung Gereja Katolik
Indonesia (SAGKI) 2005 di Caringin Bogor pada tanggal 16-20 November 2005. Bangkit dan Bergeraklah merupakan tema SAGKI 2005,
yang diharapkan mampu meningkatkan semangat Gereja terlibat dalam mengatasi keprihatinan bangsa. Keprihatinan kita semakin
mendalam karena peristiwa-peristiwa kekerasan masih terjadi di sekitar kita, terutama kekejaman yang terjadi di Poso yang tak
kunjung usai dan pengeboman di Bali (1 Oktober 2005). Semoga kebangkitan Tuhan tetap menjadi kekuatan bagi kita untuk bangkit
membangun masa depan yang lebih baik.
2. SAGKI 2005 dihadiri oleh 343 utusan dari keuskupan-keuskupan seluruh Indonesia. Perjumpaan para utusan yang terdiri dari
perempuan (111) dan laki-laki (232): awam (211), imam/biarawan/biarawati (96) dan para uskup (36) menghadirkan miniatur
Gereja Katolik Indonesia. Kehadiran kaum muda pada SAGKI 2005 menampakkan wajah muda Gereja yang hidup. Penyelenggaraan
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005 dapat ditelusuri prosesnya sejak dari Sidang Agung yang pertama tahun 1995 yang
memaklumatkan Pedoman Gereja Katolik Indonesia sebagai hasil refleksi pelaksanaan ajaran-ajaran sosial Gereja di Indonesia.
Pedoman tersebut mendorong umat Katolik untuk melibatkan diri sepenuhnya dalam perjuangan bangsa Indonesia mewujudkan
masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Lewat SAGKI 2000, umat Katolik kemudian didorong lagi untuk mengembangkan kesadaran
akan jatidiri dan peran sebagai orang beriman kristiani dalam masyarakat Indonesia dengan memberdayakan komunitas basis.
3. Menyadari keprihatinan hidup sekarang ini yang dinyatakan dalam Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
November 2004 sebagai keadaban publik yang telah rusak, orang muda Katolik Indonesia dalam Pertemuan Nasional (Pernas)
tanggal 12-16 November 2005 sepakat memulai gerakan merintis keadaban publik. SAGKI 2005 melanjutkan langkah itu dengan
berseru kepada segenap anggota Gereja untuk bangkit dan bergerak guna ikut dan terlibat membentuk keadaban publik baru bangsa
Indonesia. Untuk itu perlu ada kesinambungan antara gerakan komunitas basis yang telah digagas sejak tahun 2000 dengan
bangkitnya gerakan orang muda merintis keadaban publik, guna menanggapi berbagai permasalahan yang ada di lingkungan Gereja
dan bangsa.
MELIHAT REALITAS
4. Untuk dapat mewujudkan panggilan-Nya, Gereja perlu senantiasa "menganalisis secara objektif" situasi yang khas bagi negeri
sendiri, menyinarinya dengan terang Injil yang tidak dapat diubah, dan dengan ajaran sosial Gereja menggali asas-asas untuk
refleksi, norma-norma untuk penilaian serta pedoman-pedoman untuk bertindak." (Octogesima Adveniens 4) Ajaran tersebut
ditegaskan lagi oleh Konsili Vatikan II dengan rumusan, agar umat semakin mampu menangkap tanda-tanda zaman, dan meneranginya
dalam cahaya Injil (bdk. Gaudium et Spes 4). Berkaitan dengan situasi khas negeri kita, masukan dari keuskupan-keuskupan
menunjukkan, bahwa berbagai bentuk ketidakadaban publik yang paling mendesak untuk diatasi bersama dapat diringkas menjadi 17
pokok masalah berikut, yaitu: Keretakan Hidup Berbangsa dan Formalisme Agama, Otonomi Daerah dan Masyarakat Adat, Korupsi
(masalah budaya), Korupsi (masalah lemahnya mekanisme kontrol), Kemiskinan, Pengangguran, Kriminalitas/Premanisme,
Perburuhan, Pertanian, Lingkungan Hidup (berkaitan dengan hutan), Lingkungan Hidup (berkaitan dengan non-hutan), Pendidikan
Formal: Dasar-menengah, Pendidikan Formal: Pendidikan Tinggi, Pendidikan Non-formal: Pendidikan (dalam) Keluarga, Pendidikan
Non-formal: Kaum Muda (termasuk masalah narkoba), Kesehatan, Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Ketidaksetaraan Gender.
Tanda-tanda zaman ini akan dikenali lebih baik bila dialami sampai menyentuh hati, diketahui secara cermat dengan data dan
fakta yang sedang terjadi pada zaman kita. Sedangkan pesan cahaya Injil dimengerti bila naskah Kitab Suci dan Tradisi Gereja
yang kaya dibaca dan direnungkan, diolah dalam doa, meditasi dan kontemplasi, sehingga pesan Injil dapat menerangi
tanda-tanda zaman tersebut. Dengan cara itu pilihan untuk bersikap dan bertindak secara tepat dapat ditentukan.
GERAK INKARNATORIS ALLAH
5. Dasar terdalam dari segala upaya tersebut akhirnya terletak dalam iman kristiani kita sendiri, khususnya iman kita akan
Putra Allah yang menjadi manusia dan masuk ke dalam dunia kita yang konkret, dunia yang telah kehilangan keadaban publik.
Firman telah menjadi manusia dalam "daging" (inkarnasi) [1], dan diam di antara kita (Yoh 1:14). Dengan mengalami nasib
manusia, Yesus menyatakan solidaritas-Nya dengan manusia yang dipandang sekadar daging, yaitu mereka yang miskin tak
bermilik, sakit kusta, lumpuh, buta, sampah masyarakat, dan lain-lain. Solidaritas Yesus tinggal bersama-sama dengan menjadi
daging membesarkan hati kaum kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Kepada mereka diwartakan bahwa tahun rahmat Tuhan telah
datang (Luk 4:18-19). Mereka diberi harapan untuk bertahan dan berjuang memelihara kehidupan sebagai anugerah Allah Sang
Pencipta, Bapa-Nya. Orang-orang miskin diberi-Nya pencerahan bahwa dengan solidaritas mereka mampu saling memberdayakan.
Bahkan sebagai ungkapan solidaritas-Nya dengan manusia, hidup-Nya sendiri Ia berikan supaya manusia dan seluruh alam semesta
selamat dan hidup. Karena solidaritas-Nya, Ia rela mati di salib sebagai manusia dalam daging (Fil 2:8).
6. Gereja dipanggil untuk mengikuti gerak inkarnatoris Allah yang menjadi nyata dalam seluruh peristiwa Yesus Kristus.
Seperti Allah sendiri, Gereja tidak boleh lari dari kenyataan keras dunia yang tidak beradab. Ia juga tidak boleh menunggu
sampai dunia ini beradab lebih dahulu, melainkan diutus untuk masuk ke dalam dunia yang tidak beradab itu dan mewujudkan
hakikatnya dengan mengupayakan keadaban publik. Bila Gereja menemukan jati dirinya dalam Yesus Kristus yang menjadi daging,
maka seperti Kristus, Gereja pun harus berani mengalami nasib menjadi korban untuk mewartakan Kerajaan Allah yang
memerdekakan. Dengan demikian Gereja berada di pihak manusia yang menjadi korban ketidakadilan. Jati diri Gereja ini
hendaknya diwujudkan dalam habitus [2] baru, yaitu solider dengan korban. Untuk itu perlu dikembangkan spiritualitas
kesaksian (martyria) yang terwujud dalam kesedian untuk berkorban, untuk melayani tanpa pamrih, dan untuk mewartakan kabar
sukacita dengan menjadi saksi kabar sukacita tersebut.
PERTOBATAN MENUJU GERAKAN
7. Tentu saja Gereja sadar, ia sendiri tidak luput dari ketidakadaban dan juga terlibat secara langsung ataupun tidak
langsung dalam terciptanya ketidakadaban publik. Maka upaya Gereja untuk mengikuti gerak inkarnatoris Allah itu pertama-tama
harus dimaknai sebagai gerak pertobatan. Oleh karena itu SAGKI 2005 diawali dengan pengakuan akan keterlibatan Gereja dalam
menciptakan atau membiarkan terjadinya ketidakadaban publik di ketiga poros yang meliputi Badan Publik, Pasar dan Masyarakat
Warga. Gereja tidak selalu menunjukkan komitmen yang jelas untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik, sebagaimana
diteladankan oleh Yesus Kristus.
8. Itu semua dapat terjadi karena kehidupan Gereja masih dikuasai oleh habitus lama yang tidak sesuai dengan apa yang
diamanatkan oleh Tuhan sendiri sebagaimana menjadi nyata dalam peristiwa inkarnasi. Habitus lama tersebut misalnya: tidak
terbiasa dan tidak membiasakan diri untuk membaca realitas sosial secara kritis dan memecahkan persoalan karena cari aman,
mental instan, cari enak dan selamat; merasa tidak berdaya karena merasa minoritas; pemisahan antara sakral-profan,
sekuler-rohani; lebih banyak mengkritik daripada berbuat; sombong; lebih banyak memperjuangkan agama dan lebih banyak omong
daripada hidup beriman. Oleh karena itu habitus lama tersebut harus ditinggalkan. Gereja perlu mencari dan mengembangkan
habitus baru. Habitus baru misalnya: melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan positif masyarakat (organisasi dll); perubahan
pola pikir (dikotomis, dll); setia pada proses, tekun, militan, selalu membuka diri terhadap semua kelompok; memberi
keteladanan, pewartaan nilai, roh memperjuangkan kesalehan sosial.[3]
Habitus baru tersebut hendaknya dibangun berdasarkan semangat Injil (Mat 5-7) melalui latihan terus menerus supaya menjadi
sikap hidup yang baru, baik sebagai pribadi maupun secara kolektif. Agar habitus tidak jatuh sekadar sebagai kebiasaan
belaka, maka membangun habitus baru perlu dilengkapi dengan refleksi terus menerus [4]. Gerak dari habitus lama menuju
habitus baru merupakan jalan pertobatan dari manusia lama yang dikuasai dosa menuju manusia baru yang dikuasai firman. Jalan
pertobatan tersebut adalah jalan salib yang mengubah kematian menjadi awal kehidupan baru. Diharapkan dengan membangun
habitus baru Gereja hadir sebagai persekutuan komunitas-komunitas pengharapan dalam perjuangan masyarakat Indonesia menuju
kemerdekaan sejati.
9. Dalam upaya mewujudkan keadaban publik berdasarkan habitus baru sesuai dengan situasi kontekstual Indonesia, kita perlu
bertitik tolak dari berbagai macam indikasi ketidakadaban yang ditemukan dalam poros Badan Publik, Pasar dan Masyarakat Warga
(bdk. 17 pokok masalah). Kita perlu melihat kaitan-kaitan yang ada antara berbagai indikasi ketidakadaban publik tersebut dan
menemukan faktor-faktor penyebab utama yang paling strategis. Atas dasar itu kita dapat menentukan pintu masuk [5] yang
tepat untuk mengatasi ketidakadaban yang terjadi. Dua kriteria digunakan untuk memilih pintu masuk tersebut. Pertama, pintu
masuk yang dipilih itu adalah pintu masuk yang paling mempunyai dampak bagi pemecahan masalah. Kedua, pintu masuk yang
dipilih itu adalah sesuatu yang paling realistis untuk dimasuki Gereja Katolik baik sebagai institusi maupun sebagai
komunitas (sesuai dengan kewenangan, kemampuan dan sumber daya yang dimiliki).
Adapun pintu masuk yang dipilih oleh ketujuhbelas kelompok berkaitan dengan 17 pokok masalah tersebut adalah sebagai berikut.
==================
(1)
Kelompok: Keretakan hidup Berbangsa dan Formalisme Agama
Pintu Masuk: Penegasan Pancasila dalam kehidupan berbangsa
(2)
Kelompok: Otonomi Daerah dan masyarakat adat
Pintu Masuk: Mengatasi apatisme masyarakat warga
(3)
Kelompok: Korupsi: masalah budaya
Pintu Masuk: Pendidikan nilai
(4)
Kelompok: Korupsi: masalah lemahnya mekanisme kontrol
Pintu Masuk: Meningkatkan fungsi kontrol dan memperbaiki sistem hukum
(5)
Kelompok: Kemiskinan
Pintu Masuk: Budaya menabung
(6)
Kelompok: Pengangguran
Pintu Masuk: Pendidikan manusia seutuhnya. Pendidikan yang menekankan aspek produktivitas, kreativitas, inovasi,
kewirausahaan, dan kemandirian yang dijiwai iman, cinta kasih, kebebasan dan keteladanan.
(7)
Kelompok: Kriminalitas/premanisme
Pintu Masuk: Meningkatkan moralitas kepemimpinan yang merosot
(8)
Kelompok: Perburuhan
Pintu Masuk: Mengatasi kehidupan buruh yang menderita dan tertindas.Mengontrol kebijakan perburuhan dan industri yang tidak
pro-buruh dan kurang mendukung iklim usaha yang kondusif dan adil.
(9)
Kelompok: Pertanian
Pintu Masuk: Pemberdayaan petani
(10)
Kelompok: Lingkungan hidup: berkaitan dengan hutan
Pintu Masuk: Budaya masyarakat adat dan kearifan lokal (masyarakat asli/pemilik hutan sebagai komunitas)
(11)
Kelompok: Lingkungan hidup: berkaitan dengan non-hutan
Pintu Masuk: Mengatasi polusi (tanah, udara, dan air)
(12)
Kelompok: Pendidikan formal: pendidikan dasar-menengah
Pintu Masuk: Sumber Daya Manusia
(13)
Kelompok: Pendidikan formal: pendidikan tinggi
Pintu Masuk: Undang-undang dan sistem pendidikan nasional
(14)
Kelompok: Pendidikan non-formal: pendidikan (dalam) keluarga
Pintu Masuk: Pendampingan keluarga
(15)
Kelompok: Pendidikan non-formal: kaum muda
Pintu Masuk: Spiritualitas dan karakter kristiani Orang Muda Katolik (OMK)
(16)
Kelompok: Kesehatan
Pintu Masuk: Meningkatkan mutu dan jumlah SDM dalam bidang kesehatan
(17)
Kelompok: Kekerasan dalam rumah tangga dan ketidaksetaraan gender
Pintu Masuk: Konstruksi sosial gender
==================
Pencarian dan penemuan pintu masuk ini dapat dimaknai sebagai pencarian dan penemuan titik sasaran yang tepat guna
menjelmakan (menginkarnasikan) habitus baru berdasarkan nilai-nilai kristiani. Pada titik sasaran itulah kita kemudian perlu
merumuskan dan melaksanakan tindakan nyata (focus tindakan) guna mewujudkan keadaban publik baru. Dalam kesinambungan dengan
SAGKI 2000, perhatian diberikan pada komunitas basis. Dan dalam kelanjutan dengan Pernas 2005, perhatian juga terutama
ditujukan kepada kaum muda. Karena itulah kemudian para peserta SAGKI 2005 dalam kelompoknya masing-masing berdiskusi dan
menyepakati sejumlah focus tindakan yang akan dilakukan baik oleh kaum muda maupun oleh komunitas basis.
Sejumlah contoh dari hal-hal yang disepakati untuk dilakukan oleh kaum muda berkaitan dengan ketujuh belas pokok masalah
tersebut di atas adalah sebagai berikut: mengaplikasikan kesadaran gender dalam kehidupan sehari-hari, memberi pendampingan
terhadap korban ketidakadilan gender (peer group-korban bantu korban), mengolah seni budaya produktif, pembelajaran tentang
nilai-nilai kehidupan sejak usia muda, membangun dan mengoptimalkan komunitas orang muda yang berbelarasa, menggencarkan aksi
gerakan anti-korupsi melalui cara-cara persuasif maupun pressure, membangun jejaring gerakan anti korupsi bersama dengan
elemen masyarakat lain, menumbuhkan kepedulian tentang perburuhan, menyelenggarakan pendidikan nilai cinta pada alam berbasis
kearifan lokal, mengadakan pendekatan kultural untuk menghargai lingkungan, membangun jaringan dengan membuka akses pada
lembaga peduli lingkungan yang sudah ada, melibatkan dan membuka diri dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan,
revitalisasi Panca Sila sebagai norma hidup berbangsa dan bernegara, mengusahakan advokasi melawan kebijakan publik yang
menindas petani [6].
Adapun beberapa contoh dari hal-hal yang disepakati untuk dilakukan oleh komunitas basis adalah sebagai berikut: menyediakan
bahan katekese yang mendukung komunitas basis untuk memperjuangkan kesetaraan gender, membangun diri (komunitas basis)
sebagai komunitas alternatif yang adil gender, membantu buruh memperoleh akses ke badan publik, membentuk lembaga advokasi
perburuhan, menanami lahan kritis dengan tanaman unggulan lokal, menanamkan kecintaan terhadap lingkungan dalam keluarga,
membangun jaringan dengan lembaga-lembaga peduli lingkungan yang sudah ada, mengembangkan kepemimpinan untuk menyiapkan kader
yang mampu menggerakkan berbagai kelompok masyarakat, memperjuangkan internalisasi nilai-nilai Panca Sila dalam aktivitas
hidup sehari-hari melalui kerjasama dengan berbagai jaringan lintas golongan, agama, suku dan kebudayaan, mendalami ajaran
sosial Gereja tentang kesehatan, mengupayakan dana solidaritas bagi keluarga yang tak mampu, mengadakan aksi peduli hidup
sehat, menyebarluaskan visi hidup organik dengan mengembangkan pertanian yang ramah lingkungan, membina kepemimpinan
partisipatif pada komunitas basis, membantu mereka yang lemah untuk membuka berbagai macam usaha (pemberian modal awal),
peningkatan komunikasi dalam keluarga yang lebih baik, intensif dan berkualitas, mendukung dan memfasilitasi kemandirian kaum
muda, memperluas jejaring untuk menyuarakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam konteks gerakan anti-korupsi, mencermati
dan mengkritisi kebijakan publik di daerah masing-masing serta mengambil langkah-langkah konkret atas penyimpangan yang
terjadi [7].
REKOMENDASI
10. Agar tindakan nyata itu tidak bersifat sporadis dan sesaat saja, perlu diupayakan agar ia menjadi sebuah gerakan yang
memiliki - selain focus tindakan yang jelas - juga kelembagaan yang sesuai serta kepemimpinan yang kuat. Kita melihat
komunitas basis [8] sebagai kelembagaan yang sesuai, serta kaum muda sebagai pemimpin dalam upaya mengembangkan keadaban
publik. Kita mencatat hasil SAGKI 2000 yang menekankan pemberdayaan komunitas basis yang terbuka sebagai awal baru hidup
menggereja [9].
11. Jelaslah pula kiranya, bahwa kaum muda dan komunitas basis tidak boleh kita biarkan bergerak sendirian saja. Gereja, baik
sebagai institusi maupun sebagai komunitas, perlu memberikan dukungan yang nyata dan penuh. Menurut para peserta SAGKI 2005,
dukungan tersebut dapat diberikan melalui berbagai macam cara dan bentuk seperti misalnya: Gereja mengadakan pelatihan
pengolahan hasil hutan yang ramah lingkungan, mengadakan kolekte khusus untuk pemeliharaan lingkungan hidup, membentuk wadah
pemerhati lingkungan, menaruh perhatian pada perayaan hari lingkungan hidup, memprioritaskan anggaran dan membuat
kegiatan-kegiatan kaum muda yang berbasis gender, mengorganisir kaum muda untuk ikut aktif dalam proses pembelajaran
nilai-nilai kehidupan serta memberi dukungan finansial konkret untuk itu, mendorong dan mendukung kaum muda untuk membentuk
forum lintas agama dan kepercayaan dalam rangka gerakan anti korupsi, hadir secara personal ketika aktivis sosial
kemasyarakatan orang muda katolik dalam situasi sulit akibat perjuangannya melawan ketidakadilan, mendukung dan membantu
komunitas basis untuk mengadakan pelatihan yang berkenaan dengan kegiatan anti korupsi, memberikan penghargaan dan melibatkan
para aktivis sosial kemasyarakatan dalam aktivitas di lingkungan gereja, mengalokasikan dana khusus untuk mendukung
pelaksanaan program tindakan nyata bagi komunitas basis mencapai habitus baru, mendorong perubahan paradigma dalam cara hidup
menggereja secara aktif dan partisipatif, menyelenggarakan lembaga pendidikan pertanian, menganjurkan dan mengupayakan agar
muatan lokal tentang visi pertanian ramah lingkungan masuk dalam kurikulum pendidikan formal, mendorong komisi-komisi untuk
menyusun bahan-bahan pendalaman tentang nilai-nilai Pancasila, membentuk dan melatih para kader komunitas basis untuk
mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila, memberikan pendampingan bagi komunitas basis untuk sadar gender secara
berkesinambungan dan intensif [10].
12. Melalui dukungan yang nyata dan penuh tersebut, upaya melaksanakan tindakan nyata pada titik sasaran yang tepat
berdasarkan habitus baru demi terwujudnya keadaban publik diharapkan lalu dapat mewujud menjadi gerakan. Dengan demikian kita
sampai kembali pada seruan yang menggerakkan seluruh SAGKI 2005 ini: Bangkit dan Bergeraklah! Gereja Membentuk Keadaban
Publik Baru Bangsa. Sebagai umat minoritas, amatlah terbatas apa yang dapat dilakukan Gereja. Namun Gereja percaya bahwa
banyak pihak lain merasakan kebutuhan yang sama akan terciptanya Keadaban Publik. Karena itu Gereja mengajak semua pihak lain
yang berkehendak baik, untuk sama-sama bergerak membentuk keadaban publik baru itu.
13. Selanjutnya Sidang merekomendasikan supaya perangkat pastoral di KWI, keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki memfokuskan
program mereka - dengan sistem dan perangkat pemantauan yang efektif - demi kesinambungan gerakan ini. Kesinambungan perlu
dipertahankan dengan penyusunan program dan rencana aksi yang jelas, serta program evaluasi berkala, baik pada tingkat
paroki-paroki dan keuskupan-keuskupan, maupun pada tingkat KWI. Selanjutnya sidang juga mendorong pembentukan forum kontak
peserta SAGKI 2005 sebagai sarana untuk mengkoordinasi informasi sampai penyelenggaraan SAGKI berikut [11].
14. Akhir kata, hasil selengkapnya seluruh persidangan akan diterbitkan dalam waktu dekat agar dapat digunakan sebagai
panduan untuk tindaklanjut SAGKI 2005 di keuskupan-keuskupan seluruh Indonesia.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Kata inkarnasi berasal dari kata latin in carne yang berarti menjadi daging. Dalam Kitab Suci bahasa Indonesia, inkarnasi
diterjemahkan sebagai menjadi manusia. Dari kata inkarnasi itu kemudian kita kenal istilah inkarnatoris yang menunjuk pada
gerak Allah menjadi daging/manusia.
[2] Habitus adalah "gugus insting, baik individual maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat,
cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi dengan seseorang atau kelompok." Nota Pastoral KWI 2004,
butir 10.
[3] Lih. Lampiran Laporan Diskusi Kelompok.
[4] Narasumber Ignas Kleden mengingatkan:"Salah satu kelemahan habitus yang pokok ialah bahwa dia tidak bersifat reflektif
(sekalipun juga tidak mekanis), sementara kehidupan rohani menuntut refleksi terus-menerus dengan rujukan yang sadar kepada
nilai-nilai dan motivasi yang melandasi suatu tindakan. Kekurangan ini dapat diatasi kalau momen refleksi itu kembali
dimasukkan ke dalam habitus, agar supaya persepsi dan praktek yang didorong oleh habitus dapat memperoleh maknanya kembali."
(lihat I.Kleden, Habitus: Iman dalam Perspektif Cultural Production, dalam Kumpulan Makalah dan Bacaan Pelengkap SAGKI
[5] Pintu masuk merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris entry point.
[6] Hasil lengkap diskusi dari ketujuhbelas kelompok dapat dilihat dalam Lampiran Laporan Diskusi Kelompok.
[7] Hasil lengkap diskusi dari ketujuhbelas kelompok dapat dilihat dalam Lampiran Laporan Diskusi Kelompok.
[8] Komunitas basis itu dipandang sebagai satuan umat yang relatif kecil dan yang mudah berkumpul secara berkala untuk
mendengarkan firman Allah, berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok maupun masalah sosial, dalam mencari
pemecahannya dalam terang Kitab Suci (bdk. Kis 2:1-47). Komunitas basis seperti ini terbuka untuk membangun suatu komunitas
yang juga merangkul saudara-saudara beriman lain (lih. Gereja Yang Mendengarkan, hal. 14).
[9] Hasil Sidang Agung ini diharapkan dapat membantu mendorong dan memberdayakan berbagai komunitas basis dengan jaringannya
di mana pun, ... mendorong tumbuhnya berbagai komunitas basis di mana komunitas basis belum dimulai dan berkembang (lih.
Gereja Yang Mendengarkan, hal. 19). Tetapi disebutkan juga:"Arti komunitas basis dan bagaimana perwujudan serta
pengembangannya perlu ditemukan oleh komunitas-komunitas setempat" (lih. Gereja Yang Mendengarkan, hal. 13)
[10] Data lengkap mengenai hal ini dapat dilihat dalam Lampiran Laporan Diskusi Kelompok.
[11] Rekomendasi lengkap mengenai kesinambungan ini dapat dilihat dalam Lampiran Laporan Diskusi Kelompok.
Sumber: http://mirifica.net/
Suka dengan artikel ini? [Bagikan artikel ini ke teman2-mu di FACEBOOK. Klik disini]